SURAT UKUR MENGGUSUR LELUHUR : Tongkonan di Ujung Tanduk

Bagikan:

MEDIANTANEWS : OPINI

Oleh : Pastor ALBERT ARINA



MENDENGAR Tana Toraja akan mengadakan Toraya Ma’Kombongan (16-18 Desember 2025), saya merasa senang. Terlebih dipenghujung tahun 2025 ini, ketika kita sementara mempersiapkan diri menyongsong hari raya Natal 25 Desember dan tahun yang baru 2026.

Sekurang-kurangnya inilah kesempatan baik bagi masyarakat Toraja untuk membicarakan beberapa kejadian terkini, yang membuat hati kita sedih, miris dan prihatin. Inilah kesempatan untuk menggalang konsensus dan kesepakatan bersama antara pemerintah, tokoh adat/masyarakat, dan tokoh agama serta para pemerhati budaya Toraja, untuk duduk bersama dengan jiwa besar membicarakan peristiwa tragis yang baru saja terjadi.

Bukankah Toraja dikenal dengan sejuta kearifan lokalnya? Disetiap sudut, kampung, lembah dan bukit punya kisah dan cerita tentang kebijaksanaan, kesetiaan dan tanggungjawab.

Terlebih Tongkonan, bukan sekedar rumah adat atau tempat tinggal fisik, tetapi sebuah pusat kosmos yang menjadi landasan filosofis, spiritual dan sosial masyarakat Toraja turun-temurun.

Tongkonan menjadi jantung kehidupan masyarakat Toraja. Disitulah pusat ritual keagamaan, baik rambu solo’ maupun rambu tuka’. Lambang identitas dan asal-usul (Pa’rapuan), punya nama dan sejarah masing-masing.

Bahkan menjadi pusat pemerintahan adat, tempat untuk bermusyawarah, untuk menyelesaikan sengketa, dan mengambil keputusan – keputusan penting.
Namun yang terjadi sekarang, Tongkonan yang menjadi pusat dan jantung kehidupan masyarakat Toraja, porak-poranda dihancurleburkan dengan alat berat. Surat ukur telah menggusur leluhur, rumah nenek moyang orang Toraja sendiri.

Betulkah, bahwa demi hukum (prinsip agraria nasional) putusan perdata berkekuatan hukum harus segera dieksekusi oleh PN.

Tidak adakah pertimbangan lain yg juga diakui oleh negara (Bdk. UUPA 1960), bahwa negara mengakui tanah hak ulayat (adat) dan komunal menjadi hak adat ? Memang, ada perbedaan antara pengakuan normatif (tanah adat) dan bukti formal (sertifikat). Namun ada sisi lain yang terlupakan, yang sama sekali tidak dipertimbangkan, yaitu asas proporsionalitas dan perlindungan terhadap situs budaya.

Peristiwa ini sangat mencederai perasaan mayoritas masyarakat Toraja. Terjadi luka dan trauma spikologis dan budaya, merusak identitas dan simbol kolektif serta tatanan sosial kemasyarakatan.

Dan jujur harus dikatakan, bahwa eksekusi ini, tidak menyelesaikan masalah, melainkan justru akan menimbulkan masalah baru.
Melihat situasi yang pelik ini, kami memberikan beberapa usul/saran.

1. Pemerintah segera membuat Moratorium untuk menghentikan sementara eksekusi Tongkonan, bila terjadi masalah hukum pada Tongkonan. Sambil melakukan inventarisasi dan verifikasi status semua tanah tongkonan. Menyusun regulasi perlindungan situs budaya secara lebih permanen, dan menemukan penyelesaian adat atau hukum secara berkeadilan.

2. Pemerintah memberikan penguatan dan peran yang sebesar-besarnya kepada hakim adat atau pemangku adat. Sebab, merekalah penentu legitimasi penyelesaian konflik internal pada masyarakat adatnya. Selain itu, mereka menjadi penjaga aturan, hukum dan kebiasaan masyarakat, serta menjadi benteng pertama terhadap komersialisasi dan sertifikasi tanah tongkonan secara individu.

3. Mendesak pemerintah dan DPRD Tana Toraja, untuk segera membuat Peraturan Daerah (PERDA) tentang Perlindungan Budaya Toraja. PERDA ini menjadi legitimasi hukum bagi perlindungan budaya Toraja. Menjadi pisau hukum untuk membatalkan setiap usaha sertifikat tanah bagi individu yang merugikan hak komunal. Dan menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk pelestarian budaya Toraja. Selain itu, melalui PERDA menjadi jelas bahwa negara hadir dan mengakui kedaulatan masyarakat adat serta warisannya.

4. Pemerintah daerah, DPRD, Badan Pertanahan Nasional (BPN), PN, tokoh Adat/masyrakat, tokoh agama dan seluruh masyarakat Toraja, berkolaborasi menjaga situs budaya Toraja ini, dengan bersama-sama membuat peta wilayah tongkonan, mendaftarkan tanah adat tongkonan sebagai hak milik komunal dan menjadikannya sebagai kawasan budaya yang dijaga, dilindungi dan dilestarikan oleh negara.

Kita berharap, musyawara besar masyarakat Toraja ini (Toraya Ma’Kombongan) dapat mentransformasikan kembali kesadaran kolektif kita yang mulai hilang, menghasilkan langkah-langkah konkret, strategis dan berkelanjutan dalam melindungi inti paling berharga peradaban kita.

Tongkonan akan selamat, bukan karena belas kasih hukum formal, tetapi karena kekuatan hukum adat yang terus dijaga dan ditegakkan oleh masyarakat Toraja itu sendiri.

Makassar, 14 Desember 2025.

(* )


Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses