Toraja ‘Menangis’ Respon Terhadap Toraya Ma’kombongan 2025

Bagikan:

MEDIANTANEWS : OPINI

Oleh: Dr.Kristian H. P. Lambe, Dosen UKI Paulus



Ma’kombongan adalah sebuah tradisi musyawarah atau pertemuan adat yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam masyarakat Toraja.

Ma’kombongan dipahami sebagai ajang pertemuan untuk membahas dan menyatukan pendapat mengenai persoalan-persoalan genting yang dihadapi bersama, sehingga menjadi ruang bersama untuk mencari kesepahaman dan jalan keluar yang adil.

Perspektif adat, Ma’kombongan berfungsi sebagai ruang musyawarah yang sakral untuk menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan Tongkonan. Tongkonan tidak dimengerti hanya sebagai benda atau aset, melainkan simbol identitas, kekerabatan, dan keberlanjutan nilai budaya masyarakat Toraja.

Di dalam Tongkonan terikat sejarah, garis genealogis, dan marwah sebuah rumpun keluarga; karena itu, setiap keputusan menyangkut Tongkonan semestinya melalui mekanisme adat yang menghormati martabat semua pihak.

Dalam konteks ini, tindakan pengadilan yang mengeksekusi Tongkonan—melalui sita, lelang, atau bentuk eksekusi putusan lainnya—menimbulkan persoalan serius. Langkah tersebut:

1.Mengabaikan Ma’kombongan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa adat yang hidup, diakui, dan dihormati dalam komunitas.

2.Mereduksi Tongkonan menjadi sekadar objek hukum dan harta kekayaan individual, bukan warisan komunal yang melekat pada suatu rumpun kekerabatan.

3.Merusak tatanan nilai budaya, termasuk sistem kekerabatan, legitimasi adat, dan struktur otoritas dalam Tongkonan.

4.Berpotensi memutus hubungan genealogis antar anggota Tongkonan karena hilangnya basis material dan simbolik keanggotaan mereka.

Dengan demikian, pokok persoalannya bukan sekadar perbedaan penilaian atas suatu objek sengketa, melainkan benturan mendasar antara hukum negara dan hukum adat. Eksekusi Tongkonan oleh pengadilan dapat dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai adat Toraja dan pengabaian Ma’kombongan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang sah dan hidup di tengah masyarakat. Di sinilah Toraja “menangis”: ketika rumah adat yang menjadi sumber identitas dan persatuan justru terancam oleh cara pandang hukum yang tidak sepenuhnya memahami jiwa budaya yang dikandungnya.

Kurre Sumanga’

( * / redaksi )


Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses