Menerawang Nilai Prosesi Sakral Rambu Solo’ Almarhumah Ester To’tuan

Bagikan:

MEDIANTANEWS

RAMBU SOLO’ merupakan tradisi sakral bagi masyarakat Mamasa,Slbar, tempat berkumpulnya secara adat saat seorang tokoh dan bangsawan wafat. Acara itu sekaligus perekat bagi para kaum bangsawan di daerah berjulukan Bumi Kondosapata.

Laporan : Febrianti, Mamasa

Dalam terjemahan harafiahnya, rambu berarti asap, dan solo artinya turun.

Maknanya, ritus-ritus seperti penyembelihan hewan pada acara tersebut, hanya boleh dilakukan saat matahari mulai terbenam.

“Semua hewan yang dibantai harus dibantai di atas jam 12,” kata Maurids Genggong, tetua adat Kecamatan Tawalian, Rabu (17/7/2024).

Acara rambu solo almarhumah Ester To’tuan di lokasi Tongkonan Layuk, Tatale, Tawalian Timur, Mamasa jadi potret prosesi itu bagaimana dilangsungkan.

Selama empat hari berturut-turut dari tanggal 16-17 Juli 2024 acara itu digelar.

Nilai sakral dijumpai dan terlihat rapi serta teratur, mulai dari pakaian adat nuansa hitam, dikombinasi warna merah dan kuning, hingga penyambutan dan suguhan makan minum bagi pelayat serta tamu lainnya.

Partisipasi kerabat dan pelayat ada yang membawa babi, ada juga kerbau dan bentuk dukungan lain. Total keseluruhannya dapat mencapai ratusan ekor. Apapun pemberian itu, nilainya adalah perekat kekerabatan dan silaturahmi.

Rombongan diterima dan diantar oleh sekelompok keluarga yang membawa padaling (serupa gong kecil), berbaris di depan para pelayat, bersama seekor kerbau belang yang sudah disiapkan.

Kerbau belang yang disebut tedong bonga itu, bernilai kasta tertinggi karena harga hingga setengah miliar rupiah lebih kian, menampilkan pesona sakral bagaimana prosesi penyambutan itu digelar.

Dulu katanya, iringan padaling dalam adat Mamasa hanya untuk pelayat yang membawa kerbau.

Namun, sebagai bentuk penghargaan, pelayat yang membawa babi, tetap dijemput dengan padaling. Tedong bonga yang disebut rande allun, dihadirkan, sebagai gantinya.

“Untuk mengatasi ini, jangan sampai para pelayat mengatakan sama pemangku acara, dianaktirikan, tidak dijemput dengan padaling. Pemangku acara mengambil kerbau yang sebagai pokok acara ini,” tutur Maurids.

Para tamu dan pelayat kemudian terbagi ada yang duduk di alang bagi laki-laki yang dituakan atau ditokohkan, kemudian perempuan duduk di pelataran berupa pondok yang disebut lantang karampoan.

Suasana duka larut jadi kesempatan berbagi senyum di antara mereka.

Ungkapan dukacita juga dicerminkan dalam prosesi ma’badong.

Prosesi itu dilakukan oleh sekelompok orang, membentuk lingkaran, sembari mengaitkan jari satu sama lainnya, menyenandungkan syair berisi ungkapan kesedihan.

Rombongan tamu selanjutnya, disuguhkan makanan dan minuman, dan tamu penting diarahkan makan di tempat khusus.

Tak ayal, pelaksanaan dari persiapan hingga prosesi puncak menghabiskan anggaran hingga miliaran rupiah, belum lagi material dan dukungan yang tak bisa dinilai dengan uang.

“Nilai jika dianggarkan dengan uang itu hingga miliaran,” ungkap Zadrak To’tuan, putra dari almh. Ester To’tuan.

( * / fred )


Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses